www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-08-2022

Saya sendiri tidak punya akun twitter pribadi, atau juga jaringan sosial media lainnya. Pernah punya akun facebook dulu sekali, tapi sudah lupa password-nya. Tetapi agak sedikit curang juga, karena sering lihat akun twitter yang bisa diakses melalui laptop. Melalui laptop sebab HP-pun masih Nokia jadoel, bukan smart-phone. Yang dulu juga dengan HP itu sukanya buka livescore.com, untuk melihat hasil-hasil pertandingan bola. Beberapa tahun lalu dibelikan istri smart-phone, tetapi tidak pernah aktif digunakan meski selalu saja rutin diisi tenaganya, baterainya. Tidak ada alasan yang sungguh jelas mengapa smart-phone itu tidak aktif, mungkin HP lama masih bisa mencukupi, untuk telpon dan SMS. Ada beberapa akun twitter yang sering saya buka untuk ‘ngintip’ perbincangan, misal ariel heryanto, rizal ramli, m. said didu, bre redana, dan beberapa lagi. Salah satunya adalah akun uyokback, https://twitter.com/uyokback. Entah akun ini sudah ganti ‘alamat’ berapa kali sebab kadang kena suspend. Nggak tahu mengapa kena suspend, dan bagaimana caranya akun twitter bisa kena suspend? Kayak di-bredelkah? Mungkin  harus tanya anak yang lebih trampil dalam dunia digital.

Saya tidak kenal siapa sebenarnya @uyokback, tetapi lama-lama soal siapa-nya ini menjadi kurang penting lagi. Tetapi meski begitu, perlahan juga bisa menjadi ‘sahabat digital’. Bahkan mungkin saja @uyokback ini tidak tahu kalau saya sering ngintip unggahannya. Mengapa sering ngintip unggahan di akun sosial media? Mungkin sama saja dengan yang lain, lebih senang melihat, atau mendengar yang sesuai dengan ‘minat’ atau juga yang mendukung pendapatnya sendiri. Sulit dibayangkan jika kita terus saja ‘menikmati’ yang selalu kontra dengan pendapat kita. Atau ‘kesenangan’ kita. Jika kita penikmat dang-dut, tentu akan lebih suka ngintip akun yang juga penikmat dang-dut, dari pada yang terus saja ngritik dang-dut.

Salah satu unggahan menarik @uyokback adalah selalu mengingatkan akan adanya ‘umpan lambung’. Unggahan dari akun-akun tertentu yang sebenarnya adalah hoaks atau dis-informasi. Diingatkan untuk tidak retweet atau apalah namanya dari pada nanti ‘kena pasal’. Contoh kasus yang ‘masih berjalan’, Roy Suryo itu. Retweet atau apalah namanya itu, retweet meme patung Budha yang sudah di-edit, terus ‘kena pasal’ karena dilaporkan. Yang buat malah nggak ‘kena pasal’. Repot memang. Karena akun satu bisa ‘kena pasal’, akun tertentu segera saja ‘diproses’, akun lain bisa tenag-tenang saja. Semau-maunya. Atau ada yang sudah dilaporkan, dipanggil polisi tidak datang-datang juga, dan ‘kasus’-nya pun meredup.

Baru-baru ini @uyokback membongkar sebuah unggahan video yang suaranya sudah di-edit. Dengan ‘meminjam’ suara dari video youtube lainnya. Kepalsuan itu dibongkar. Itu yang baru-baru ini, sebelumnya bermacam unggahan, misal gambar, atau berita lama di-narasikan lain, dan banyak lagi dibongkar kepalsuannya oleh @uyokback. Juga akun lain, m. said didu misalnya, baru-baru ini membongkar klaim ‘kelompok nelayan' Sulawesi Selatan mendukung GP untuk pilpres. Ternyata klaim itu palsu. Segerombolan orang datang ke pantai salah satu tempat di Sulsel, dan membentangkan spanduk dukungan, foto-foto, dan kemudian pergi. Selanjutnya foto-foto diunggah ke sosial media. Komplit dengan narasi dukungannya. Nekad sekali bohong-bohongannya.

Tahun 2021 lalu HBO merilis sebuah film dokumenter, Fake Famous. Intinya adalah, di balik gemerlap-nya selebritasisasi melalui jaringan sosial media ternyata beredar pula banyak kepalsuan. Orang bisa mengunggah gambar ketika ia naik ‘jet pribadi’, tetapi itu ternyata palsu meski digambar yang diunggah itu seakan sungguh nyata. Ada yang menyewakan properti ruang dalam jet pribadi itu, dari kayu dan tripleks. Dengan beberapa dollar maka anda bisa unggah foto seakan sedang di atas pesawat. Atau bahkan hanya dengan tutup kloset duduk yang bentuknya oval itu. Dan banyak lagi contoh bagaimana proses palsu dari fake famous yang telah mampu menyihir banyak khalayak itu. Dalam politik-pun fake famous juga mewabah. Banyaaak contohnya.

Tetapi mengapa meski sudah berulang dibongkar tetap saja politik rute fake famous ini tetap menggoda? Ketika Obama dulu mencalonkan presiden di AS sono, silih berganti ia diterjang bermacam isu. Salah satunya soal agamanya. Dari survei, katakanlah ada 100 orang yang percaya isu tersebut, dengan skala yang berbeda-beda. Tentu tim-nya Obama tidak tinggal diam menghadapi ‘isu liar’ itu. Bermacam klarifikasi dan bukti-bukti ditampilkan untuk meng-counter isu tersebut. Dan akhirnya dari 100 orang itu, katakanlah, tinggal 10% yang masih percaya ‘isu liar’ itu memang benar. Bayangkan jika tidak ada counter. Dan bayangkan pula jika si-pembuat ‘isu liar’ itu-pun sudah cukup puas dengan 10% itu. Dan dengan itu pula bermacam ‘isu liar’-pun kemudian mengalir tiada henti. Macam-macam.

Maka apa yang dilakukan @uyokback, atau m. said didu seperti contoh di atas, patut diapresiasi. Bongkar, bongkar, bongkar, itulah ‘aturan main’ kontra dalam dunia fake famous. Dan pem-bongkaran itu-pun sangat perlu untuk di retweet, retweet, retweet. Biar kita tidak menjadi ‘fake nations’. *** (30-08-2022)

@uyokback