www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-09-2022

Dalam mitologi Yunani, ‘sihir’ kaum siren itu hanya bisa dikalahkan dengan menutup telinga, atau memetik harpa sehingga muncul lawan tangguh melalui keindahan lagu yang lebih merdu dibandingkan dengan nyanyian kaum siren. Menurut Manuel Castells, segala perkembangan modus komunikasi akan berpengaruh juga pada bagaimana manusia ‘mengelola’ kekuasaan. Termasuk juga tentu di sini, mempertahankan atau merebut kekuasaan. Power akan selalu lekat dengan bagaimana cara manusia berkomunikasi. Kita bisa melihat ini bagaimana kuasa ‘dikelola’ di jaman manuskrip, atau bahkan sebelumnya. Juga ketika mesin cetak massal ditemukan. Dan juga setelah telegram, telepon, radio, dan televisi berkembang. Atau di era digital seperti sekarang ini. Pada jaman Yunani Kuno, ada dua kata yang secara signifikan menunjuk pada kata power: kratos dan dunamis. Dunamis bisa kita bayangkan sebagai ‘gaya’ dalam fisika.[1] Maka tidak mengherankan jika Castells kemudian melihat kelekatan soal power dengan cara-ara manusia berkomunikasi. Nampaknya cara-cara manusia berkomunikasi ini akan sangat berpengaruh terutama dalam soal dunamis ini. Dalam fisika, percepatan akan dipengaruhi salah satunya oleh ‘gaya’.

Maka siren-pun kemudian menyanyi tidak hanya sekeras ia mampu, tetapi diperbanyak melalui manuskrip yang dibacakan oleh ‘ahli-ahli’-nya, atau kemudian dicetak berjuta-juta eksemplar pamflet, buku dan surat kabar, atau diperkeras, diperluas melalui radio, film, televisi, dan terakhir kita akrab melalui dunia digital. Cerita soal siren ini bisa dilihat dari bermacam sudut, salah satunya adalah  soal apa ‘yang ada dalam kendali dan tidak’. Adanya kaum siren, dari jaman ketika manusia mulai berbahasa sampai sekarang, akan tetap ada seakan itu di luar kendali kita. Yang ada dalam kendali kita adalah respon kita. Kita bisa membiarkan diri hanyut dalam alunan nyanyi kaum siren yang mematikan itu, atau kita menutup telinga, atau kita memainkan ‘harpa’ kita sendiri dan berusaha mengalahkan kemerduan nyanyian kaum siren. Bagaimana setelah paham kekuatan nyanyian kaum siren seperti dilakukan oleh Odisseus, kemudian berusaha untuk ‘menunggangi’-nya?

Merdeka adalah laksana mampu membangun kapal sendiri dan mengarahkan pada tujuan yang sudah disepakati. Dan di tengah-tengah gejolak ombak samudera, bermacam tantangan akan menghadang. Salah satunya adalah bersembunyinya kaum siren di pulau-pulau karang, dan dengan indahnya melantunkan nyanyian mematikan. Kekuatan persuasi yang sungguh akan selalu menggoda kita sebagai  ‘story-telling animal’ itu, menurut Alasdair MacIntyre. Maka respon kita-lah yang akan ikut menentukan arah kapal. Jika melihat lirik nyanyian kaum siren jaman Yunani Kuno itu, memang sangat menggoda, langsung menghujam ke dalam lubuk hati terdalam manusia: soal kuasa dan sekaligus soal kemuliaan-kebahagiaan. Tetapi itu semua hanya untuk ‘memabukkan’ karena jika terus diikuti, hanya kematianlah yang sedang disongsong. Dalam era digital ini, bermacam  jenis nyanyian didendangkan oleh kaum siren bersahut-sahutan. Bahkan ada yang melukiskan  sebagai ada dalam situasi over-load informasi. Nyanyian kaum siren dan ‘non-siren’ seakan di luar kendali kita terus menerus menghampiri kita, bahkan ketika sedang makan dengan keluarga sekalipun. Bahkan pula ketika harus mengurung diri dalam toilet. Apakah kemudian harus ‘menutup telinga’? Membuang modus komunikasi serba digital, terutama smart-phone itu? Kembali pada telepon genggam yang hanya bisa untuk telepon dan SMS-an saja, isalnya? Tentu ini boleh disarankan, tapi jangan harap akan diikuti banyak orang. Ataukah kemudian memainkan lagu yang lebih indah melalui ‘harpa religius’, entah itu religius ‘asli’ atau yang sudah di-‘sekuler’-kan, nasionalisme itu? Dari beberapa komunitas, sayap ‘kanan-jauh’ sedang menggeliat keras, terakhir dapat dilihat dari hasil pemilu di Italia. Seakan sejarah sedang berulang, ketika pergeseran dari modus manuskrip ke cetak massal, keretakan terjadi dan panas dingin menggeliat. Demikian juga ketika radio, film, televisi ditemukan. Bagaimana dengan era digital ini? Maka tidak mengherankan pula jika belajar dari segala kegelapan abad 20, ada yang berharap abad 21 adalah abad etika. Kekuatan pengetahuan diharapkan menjadi ‘harpa’ yang dipetik, untuk menggubah lagu yang lebih indah dibanding lantunan lagu kaum siren yang mematikan itu. Etika akan lebih berkembang jika kemampuan dalam hal timbang-menimbang berkembang pula. Sepuluh-tahun terakhir adalah pelajaran yang sungguh berharga terkait dengan soal etika ini. Periode yang sungguh menjauh dari soal etika ini seakan sedang menggambarkan meraja-lelanya kaum siren dengan segala nyanyian mematikannya. Tinggal tunggu waktu saja kapan kapal akan menabrak karang. *** (26-09-2022)

 

[1] Richard Ned Lebow, The Power of Persuassion, dalam Felix Berenskoetter & M.. Willams (ed), Power in World Politics,  Routledge, 2007, hlm. 124

Siren Digital