www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-10-2022

Melihat foto-foto remaja putra-putri tergeletak lemas, bahkan meninggal dalam tragedi sepak bola Kunjuruhan, sungguh hanya kesedihan dan kemarahan yang tersisa. Mau menulis saat itu-pun seakan hanya akan disesaki oleh kesedihan dan kemarahan. Maka ditunda dulu, emosi sedapat mungkin diendapkan. Dengan bantuan-bantuan tertentu. Meski tetaplah tidak hilang-hilang juga kesedihan dan kemarahan itu. Dari segala kesedihan dan kemarahan, ada salah satu  hal yang perlu lebih diperhatikan: martabat manusia. Sebab sebesar apapun kerumunan itu terhimpun, ia adalah terdiri dari manusia-manusia kongkret. Bahkan ketika ‘kesadaran massa’ lebih mengemuka, tetaplah mereka adalah himpunan dari individu-individu manusia yang masing-masing –tak terkecuali, mempunyai martabat. Mempersiapkan segala sesuatu supaya kerumunan bisa tetap tertib tidak lepas juga dari bagaimana martabat manusia mesti dijaga. Manusia secara  individu-pun kadang menampakkan perilaku tak terduga, apalagi ketika ia di tengah-tengah kerumunan. Maka tidak ada yang mengatakan mudah dalam merawat kerumunan untuk selalu tetap tertib, dengan selalu menjaga martabat manusia. Memang tidak mudah. Tetapi kita punya pengalaman, kita bisa melihat pengalaman yang lain, kita bisa mempelajari rambu-rambu peraturan yang ada, misal aturan FIFA yang melarang penggunakan gas air mata dan senjata api di dalam stadion. Dan pula kita punya cerdik-pandai yang paham akan ‘psikologi massa’. Kita punya anggaran besar untuk disisihkan sebagian bagi pelatihan polisi ketika ia menjalankan tugas dalam situasi di hadapan kerumunan, sehingga dalam tugas tidak harus juga melibatkan tentara yang peran utamanya sebenarnya adalah perang: ranah saling bunuh. Ganas.

Menurut Pierre Bourdieu, sebuah tindakan, action, akan sangat dipengaruhi oleh modal (capital), ranah (field) dan habitus. Modal dalam arti tidak hanya uang, tetapi juga modal sosial misalnya. Dalam kerumunan yang mempunyai potensi ‘meledak’, modal tertinggi di ranah tersebut sehingga kerumunan tidak menjadi tidak terkendali adalah petugas keamanan dan ketertiban, polisi misalnya dalam hal ini. Ranah (field) misalnya dalam konteks tragedi Kunjuruhan, adalah ranah pertandingan sepak bola di stadion. Yang mempunyai aturan-aturan tertentu misalnya, dalam pengamanannya. Dan tentu jelas berbeda ketika kerumunan ada di ruang terbuka. Yang perlu diperhatikan dalam konteks tulisan ini adalah habitus. Dipakai istilah ‘habitus’ karena ini memang lebih dari sekedar ‘kebiasaan’ saja. Lebih dalam dibanding soal kebiasaan. Sama-sama bisa diubahnya, habitus lebih sulit diubah dibanding dengan kebiasaan. Jika meminjam kata-kata Thatcher, habitus akan menyentuh juga heart and soul.

Sekitar 50 tahun lalu, Koentjaraningrat menyinggung mentalitas yang kurang sesuai dengan pembangunan, seperti: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas suka menerabas, (3) sifat tak percaya pada diri sendiri, (4) sifat mentalitas tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1]  Kelima hal di atas sebenarnya tidak hanya terkait dengan  pembangunan, tetapi langsung atau tidak, pada akhirnya akan juga bersinggungan dengan manusia dan martabatnya. Bahkan ‘pembangunan’ itu sendiri akan tidak lepas dari manusia dan martabatnya, karena ia tidak hanya berurusan dengan biaya-biaya uangnya saja, tetapi juga biaya sosial dan biaya kemanusiaan. Meski mungkin saja ada kemajuan terkait ke-lima hal di atas, tetapi di sana-sini faktanya masih saja kita merasakan sinyalir Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu masih terasa denyutnya. Bahkan dalam beberapa hal justru semakin ‘menggila’. Sepuluh tahun terakhir ini.

Dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), bagaimana kelima hal di atas seperti disinggung Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu, ‘kepakan’ sayap si-pemegang ‘modal’ (Bourdiuean –lihat di atas) tertinggi bisa-bisa sangat berpengaruh. Berpengaruh terutama dalam membangun habitus. Atau dalam konteks tulisan ini, membangun habitus yang menempatkan martabat manusia di tempat semestinya. Lempar-lembar bingkisan atau kaos saat pertunjukkan musik adalah hal biasa. Bahkan dalam konser metal, tubuh yang  dilempar ke kerumunan. Atau saat di panggung kampanye. Atau dalam ranah ritual tertentu, lempar-lempar apem misalnya. Ranah-nya jelas. ‘Sinyal’-nya jelas.

Inciter-in-chief yang dilabelkan pada Donald Trump terkait dengan kerusuhan di Capitol Hill setelah Trump kalah di pilpres AS sono beberapa waktu lalu, adalah soal ‘per-sinyal-an’ juga. ‘Sinyal’ yang ‘benar’ dan diterima pendukung dengan ‘benar’ maka rusuhlah di Capitol Hill itu, dan dengan itu maka si-Trump adalah inciter-in-chief. Tidak, kata Trump, itu bukan ‘sinyal’ untuk merengsek ke Capitol Hill, mereka ‘salah’ menangkap sinyal, bela Trump dkk. Penyelidikan masih berlangsung dan diselingi tuduhan ‘ngemplang’ dokumen penting dan disimpan di rumah mewahnya di Florida, terakhir ia, istri, dan anak sedang terlibat gugatan karena main ‘licik-licik’-an dalam bisnis. Apa yang mau disampaikan di sini adalah, bagi pemegang-pemegang ‘modal’ tertinggi, hati-hatilah dalam ‘ber-sinyal-ria’. Apalagi dalam ‘hukum’ pertukaran budaya menurut Toynbee, semakin tinggi nilai dari budaya maka akan semakin tinggi pula resistensi, semakin rendah nilainya maka akan semakin mudah menerobos.

Maka ‘sinyal’ lempar-lempar bingkisan dari jendela mobil yang sedang berjalan pelan pada kerumunan dapat memberikan ‘sinyal’ yang kemudian berbeda-beda dalam penghayatan. Atau laku-laku asal njeplak yang dengan mudah dipatahkan khalayak melalui ‘simpanan’ digitalnya. Gegayaan sok geram, sok kesal, sok kaget, sok marah, sok jengkel, dapat pula memberikan ‘sinyal’ salah dalam pengayatan satu orang beda dengan lainnya. Demikian juga ketika pollsterRp beraksi. BuzzerRp beraksi. Atau media partisan secara vulgar mem-bingkai secara jahat pada seseorang. Tanpa malu, tanpa sungkan. Data-data dimainken semau-maunya. Masih banyak contoh yang sejenis, dan jenis-jenis kelakuan seperti ini dari sudut tertentu: meminggirkan hal martabat manusia. Sudah bukan lagi soal ‘lucu-lucu’-an, atau ‘bagian dari permainan’, tetapi sudah mempermainkan martabat manusia kebanyakan. Sinyal-sinyal itulah yang kemudian  merasuk jauh masuk dalam kesadaran dan ketidak-sadaran yang akhirnya mempengaruhi sebuah habitus. Karena bermacam hal mbèlgèdès itu terus diulang-dan-diulang selama paling tidak 10 tahun terakhir ini. Butterfly effect dari bermacam kepakan ‘kecil-kecil’ itu akhirnya menuai ‘badai’ di Kunjuruhan. Dengan korban ‘badai’ sungguh menyayat hati. Dua hari setelah diseru-serukan bagaimana saktinya Pancasila. *** (03-10-2022)

 

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT Gramedia, 1985, cet. 12, hlm. 45

'Badai' di Kunjuruhan